Wantimpres Mau Diubah Jadi DPA, Pengamat: Buat Wadah Mantan Presiden

Trending 3 months ago

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar norma tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menyebut wacana perubahan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) mengindikasikan adanya upaya bagi-bagi jatah kedudukan nan tidak sehat dalam kabinet Prabowo Subianto mendatang. 

"Saya menduga para elit sedang mencari sebuah wadah para mantan presiden," kata Bivitri dalam pesan bunyi nan diterima Tempo melalui aplikasi WhatsApp, Selasa, 9 Juli 2024.

Adapun Baleg DPR menyepakati revisi Undang-undang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden tersebut dibawa ke sidang paripurna. Nantinya, status majelis pertimbangan ini bakal beranjak dari lembaga pemerintah menjadi lembaga negara sehingga bakal berdomisili sejajar dengan presiden. 

Bivitri mengatakan bahwa gelagat rencana perubahan Wantimpres menjadi DPA ini sudah ada sejak kemunculan rumor presidential club nan digagas Prabowo pada awal Mei lalu. Dalam klub tersebut, nantinya para mantan presiden Indonesia bakal saling berbincang dan berganti pikiran untuk menjaga silaturahmi dan menjadi teladan. 

Berdasarkan Pasal 9 draf revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden nan dilihat Tempo, personil Dewan Pertimbangan Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden nan ketetapannya dilakukan melalui Keputusan Presiden (Keppres). 

Lebih lanjut, Bivitri menyampaikan bahwa pada dasarnya pembentukan DPA ini hanya untuk memberikan kedudukan baru bagi para mantan penguasa. Bahkan, kata dia, Wantimpres nan sekarang sudah terbentuk pun diisi oleh elit politik nan fungsinya tidak signifikan. 

"Mereka dikasih fasilitas, dikasih gaji. Tapi, sebenarnya enggak jelas tugasnya," ujarnya. 

Dewan pertimbangan jenis ini, Bivitri menerangkan, berpotensi diduduki oleh orang-orang nan dianggap berjasa kepada presiden. Selain itu, lembaga tersebut bisa dijadikan tempat penampungan bagi para tokoh politik nan jenjang karirnya sudah buntu. 

"Dugaannya, ini untuk 'bagi-bagi kue' lebih besar. Ini patut ditolak," tuturnya. 

Iklan

Tak sampai di situ, Bivitri turut menyoroti soal penunjukan ketua DPA. Berdasarkan Pasal 7 draf patokan itu, posisi ketua DPA dapat dijabat secara bergantian di antara personil nan ditetapkan oleh Presiden. "Ketua gonta-ganti hanya masalah muterin fasilitas," ucapnya.

Sementara itu, dalam pasal nan sama, jumlah personil DPA ditentukan sesuai kehendak presiden dan tidak dibatasi secara rigid. Bivitri menilai ketentuan itu menunjukkan adanya upaya memperluas kekuasaan presiden lantaran menentukan pejabat sesuai selera pribadi. 

Kritik tidak hanya datang dari Bivitri. Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, turut menyebut bahwa pendapat DPA ini sudah ada sejak munculnya pendapat presidential club. Menurut dia, koalisi gendut kabinet Prabowo menginginkan kondisi ini. 

"Dewan Pertimbangan Agung nan didesain itu hanya untuk bagi-bagi jatah kekuasaan," kata Herdiansyah kepada Tempo melalui sambungan telepon, Selasa, 9 Juli 2024.

Berkenaan dengan kedudukan ketua DPA, Herdiansyah mengatakan bahwa masa kedudukan ketua nan lazim kudu ditentukan dengan jelas, bukan bisa dijabat secara bergantian sebagaimana nan tertuang dalam draf UU tersebut. 

"Kalau misalnya masa kedudukan 5 tahun, maka ketua kudu mengikuti masa kedudukan itu," ujarnya. 

Pilihan editor: Mahfud MD Sebut KPU Tidak Layak Gelar Pilkada 2024, Apa Kata Presiden Jokowi dan Plt Ketua KPU?

More
Source