TEMPO.CO, Jakarta - Anggota DPR Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno merespons soal usulan revisi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden alias Wantimpres nan telah disepakati dalam rapat paripurna hari ini. Adapun revisi ketentuan itu salah satunya bakal mengubah nomenklatur Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Eddy menyatakan revisi patokan ini bakal memperjelas tugas dan kegunaan majelis pertimbangan dalam membantu presiden. Dia menilai keahlian Wantimpres belum optimal sehingga revisi patokan atas lembaga pemerintah itu diperlukan.
"Bagaimana pun juga nan namanya majelis pertimbangan presiden kudu memberikan nasehat, masukan, kepada presiden ketika diminta ataupun tidak," kata Eddy saat ditemui wartawan di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 11 Juli 2024.
Sekretaris Jenderal PAN itu menegaskan nantinya majelis pertimbangan itu bakal diisi oleh tokoh-tokoh nan dinilai krusial bagi presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto. Menurut dia, pertimbangan nan bisa membantu presiden itu meliputi bagian politik hingga perekonomian. "Saya kira itu sangat krusial agar presiden mempunyai pemahaman nan luas," ujarnya.
Lebih lanjut, Eddy membantah bahwa revisi UU Wantimpres ini bakal membangkitkan DPA sebagaimana nan tertuang dalam konstitusi sebelum diamandemen. Dia menyatakan revisi patokan itu justru menjadikan majelis pertimbangan secara kelembagaan lebih baik.
Saat ditanya soal potensi bagi-bagi kedudukan keanggotaan DPA dalam revisi patokan itu, Eddy irit berkomentar. "Saya tidak memandang itu dari aspek politiknya dan saya tidak mau tarik ke ranah politis," kata dia.
Eddy juga enggan menjawab saat ditanya soal kedudukan DPA sebagai lembaga negara nan setara dengan presiden. "Saya tidak bisa menyampaikan perihal tersebut. Takut kelak salah," ucapnya.
Sementara itu, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah merespons soal wacana perubahan Wantimpres menjadi DPA. Luluk mengatakan keanggotaan DPA nantinya bisa diisi oleh para mantan presiden.
Luluk beranggapan bahwa penempatan mantan presiden sebagai personil DPA ditujukan untuk mengapresiasi para pemimpin negara nan telah selesai bertugas. Menurut dia, para mantan presiden seperti Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono merupakan sosok negarawan nan bisa saja tergabung dalam lembaga itu.
"Jadi, ada Pak SBY, Ibu Megawati, alias Pak Jokowi misalnya. Mungkin juga ada perwakilan dari family Gus Dur," kata Luluk saat ditemui wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu, 10 Juli 2024.
Iklan
Kritik Akademisi
Pakar norma tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menyebut wacana perubahan Wantimpres menjadi DPA mengindikasikan adanya upaya bagi-bagi jatah kedudukan nan tidak sehat dalam kabinet Prabowo Subianto mendatang. "Saya menduga para elit sedang mencari sebuah wadah para mantan presiden," kata Bivitri dalam pesan bunyi nan diterima Tempo melalui aplikasi WhatsApp, Selasa, 9 Juli 2024.
Bivitri menyampaikan bahwa pada dasarnya pembentukan DPA ini hanya untuk memberikan kedudukan baru bagi para mantan penguasa. Bahkan, kata dia, Wantimpres nan sekarang sudah terbentuk pun diisi oleh elit politik nan fungsinya tidak signifikan. "Mereka dikasih fasilitas, dikasih gaji. Tapi, sebenarnya enggak jelas tugasnya," ujarnya.
Dewan pertimbangan jenis ini, Bivitri menerangkan, berpotensi diduduki oleh orang-orang nan dianggap berjasa kepada presiden. Selain itu, lembaga tersebut bisa dijadikan tempat penampungan bagi para tokoh politik nan jenjang karirnya sudah buntu. "Dugaannya, ini untuk 'bagi-bagi kue' lebih besar. Ini patut ditolak," kata dia.
Bivitri turut menyoroti soal penunjukan ketua DPA. Berdasarkan Pasal 7 draf patokan itu, posisi ketua DPA dapat dijabat secara bergantian di antara personil nan ditetapkan oleh Presiden. "Ketua gonta-ganti hanya masalah muterin fasilitas," ucapnya.
Sementara itu, dalam pasal nan sama, jumlah personil DPA ditentukan sesuai kehendak presiden dan tidak dibatasi secara rigid. Bivitri menilai ketentuan itu menunjukkan adanya upaya memperluas kekuasaan presiden lantaran menentukan pejabat sesuai selera pribadi.
Kritik tidak hanya datang dari Bivitri. Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, turut menyebut bahwa pendapat DPA ini sudah ada sejak munculnya pendapat presidential club. Menurut dia, koalisi gendut kabinet Prabowo menginginkan kondisi ini.
"Dewan Pertimbangan Agung nan didesain itu hanya untuk bagi-bagi jatah kekuasaan," kata Herdiansyah kepada Tempo melalui sambungan telepon, Selasa, 9 Juli 2024.
Pilihan Editor: Apa Itu Lembaga Dewan Pertimbangan Agung nan Disebut Bakal Diisi Jokowi