TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis HAM sekaligus Direktur Lokataru Haris Azhar menyoroti besarnya anggaran sistem digital di Indonesia nan diambil dari APBN dan APBD namun hasilnya tidak efektif. Pernyataan itu disampaikannya menanggapi rentannya info keamanan siber milik pemerintah. Terbaru, info di Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) sempat diserang peretas Ransomware.
“Kira-kira empat sampai lima tahun lampau kita pernah mengumpulkan web-web nan dibuat oleh K/L (kementerian alias lembaga) dan Pemda (pemerintah daerah), kebanyakan dibuat di Wordpress tapi menggunakan biaya APBD,” kata Haris dalam siniar berbareng eks Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan dan penggiat IT Security Aulia Postiera di YouTube Novel Baswedan, tayang Ahad, 7 Juli 2024.
Dugaan korupsi pembangunan sistem digital
Menurut Haris, artinya ada shopping negara nan besar terhadap sistem, kapasitas, dan operasionalisasi digital. Penggunaan Wordpress nan keamanannya jelas lebih rentan tentu efektifnya menjadi pertanyaan.Haris mengibaratkan pemerintah seperti membeli kacang goreng dan menunjukkan bahwa mereka telah mempunyai sistem digital.
“Ya itu mah cuman (seperti) shopping kacang goreng di depan, masukin toples, nih kita udah punya nih (sistem digital),” kata Haris.
“Lemah sekali berfaedah scurity-nya, ya?” ujar Novel.
“Pertanyaannya, efektif alias tidak?” kata Haris.
Anggaran besar namun hasil ecek-ecek tersebut membikin Haris mengendus adanya dugaan penyelewengan dana. Dia mempertanyakan selama ini adakah pihak nan melakukan audit. Pemeriksaan nan dilakukan, kata dia, bukan pada konteks tematik alias penggunaan pada institusional tertentu. Tapi dilihat secara mendatar dari K/L dan Pemda.
“Bukan pada tematik alias bukan pada institusional tertentu penggunaanya. Kan K/L sama Pemda biasanya begitu kan. Tapi dilihat secara mendatar dari semua K/L dan Pemda, penggunaan digital itu sebetulnya berapa besar? Sejauh mana efektifitas?” kata dia.
Haris mengatakan, penyelewengan biaya kemungkinan tidak terjadi dalam pembelanjaan anggaran. Namun korupsi, kata dia, justru terjadi saat anggaran telah dibelanjakan tetapi tidak digunakan. Praktik seperti ini menurutnya banyak kejadian di lembaga pemerintah. Sebab, shopping ecek-ecek adalah langkah lazim rezim penguasa menggunakan anggaran besar.
Menanggapi itu, Novel mengatakan pihaknya juga mendengar bahwa kejadian ini kemudian membikin Kementerian Keuangan membatasi penggunaan anggaran untuk sistem digital. Besarnya anggaran, pihaknya menduga, membuka kesempatan besar terjadinya korupsi biaya sistem digitalisasi. Apalagi jarang sekali adanya pemeriksaan mengenai penyelewengan anggaran di kasus tersebut.
Iklan
“Memang saya pernah dengar itu, dari patokan Kementerian Keuangan nan akhirnya membatasi pembuatan aplikasi ataupun website (pemerintah) lantaran dianggapnya terlalu berlebihan. Dan memang setahu saya anggarannya terlalu besar dan dugaan saya korupsinya juga besar. Tapi, jarang sekali diperiksa di kasus itu,” kata Novel Baswedan.
Alasan pemerintah corak PDNS
Sementara itu, menurut Aulia, argumen pemerintah membentuk PDN adalah untuk menyikapi adanya puluhan ribu sistem digital milik L/K dan Pemda nan mempunyai kerentanan keamanan. Total, kata dia total ada 24,700 aplikasi nan ketika dibangun tidak ada standar keamanannya. Dengan adanya pusat info secara nasional, kata dia, data-data milik L/K dan Pemda bisa saling beroperasi. Ironisnya, PDNS belum siap.
“PDN bagus. Cuma, kan, menjadi ribut sekarang lantaran PDNS-nya ini tidak siap. Dan sempat terjadi gangguan di imigrasi sampai tiga hari (karena peretasan),” kata Aul, sapaan Aulia Postiera.
Novel setuju kebijakan pembentukan PDN adalah upaya bagus. Menurut dia, proyek ini telah dimulai sejak November 2022 dan direncanakan rampung dan launching pada Oktober 2024. Lucunya, kata eks Penyidik Senior KPK ini, pemerintah justru juga membikin PDNS dengan menyewa dua server milik di Serpong dan Surabaya. Dananya Rp 700 miliar.
“Pertanyaannya, kenapa kudu menyewa dua server itu? Server-server nan sudah ada juga tetap bisa berfungsi. Tinggal menunggu pemindahan, selesai, jalan. Tidak perlu mengeluarkan duit Rp 700 milir. Tidak perlu juga keluar akibat akibat dari bocor nan biayanya juga enggak bakal terukur,” kata Novel.
Menurut Aul, pembentukan PDNS sementara lantaran adanya urgensi. Kemungkinan salah satu alasannya, saat PDN telah siap, proses sinkronisasinya dapat berjalan dengan cepat. Sebab, info tersebut sudah terkumpul di PDNS. Hanya saja, kata dia, pihaknya tidak tahu apa argumen pastinya pembentukan PDNS tersebut. Perlu adanya penyelidikan termasuk membuka arsip anggaran.
Di sisi lain, Haris justru mempertanyakan pihak pengambil keputusan kebijakan pembentukan PDNS. Pihaknya menduga ada intervensi dari pemimpin nan menyebabkan PDNS dibentuk. Sebab, jika mengikuti ketertiban undang-undang pengadaan peralatan dan jasa dan patokan turunnya, tidak mungkin suatu kebijakan dipercepat jika tidak ada penyebab.
“Kan ini enggak gampang, mengoperasikan nan sementara terlebih dulu maju, pasti ada intervensi,” katanya. “Mestinya DPR juga memeriksa itu, selain menuduh ada kebodohan, apakah kebodohannya juga sampai ke nan memaksa dari pemimpin agar beroperasi,” ujarnya.
Pilihan Editor: Alasan Haris Azhar, Aulia Postiera, dan Novel Baswedan Menduga Peretasan PDNS Pengalihan Isu Judi Online