TEMPO.CO, Jakarta - Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (Almi) turut merespons maraknya kejanggalan pengusulan kedudukan fungsional guru besar alias guru besar di beberapa universitas. Ketua Almi, Gunadi, mengaku prihatin atas praktik pelanggaran etika akademik tersebut.
Menurut Gunadi, pembimbing besar bukan sekedar kedudukan fungsional, tapi pengakuan organisasi akademik atas kepakaran dan kompetensi seseorang nan berprofesi dosen. “Pelanggaran dalam mendapatkan kedudukan tanpa memandang jenjang nan ditentukan, kualifikasi alias persyaratannya, telah mencoreng kredibilitas pendidikan tinggi di Indonesia,” ujarnya dalam pernyataan resmi, dikutip Senin, 8 Juli 2024.
Sistem nan membiarkan praktik curang terus terjadi bakal berakibat pada kualitas sumber daya manusia di dalamnya. Gunadi mengatakan praktik ini menjadi contoh buruk, jika tidak ditindak segera bakal terus bersambung dan menurunkan integritas akademik intelektual di Indonesia kedepannya.
Adapun persyaratan menjadi pembimbing besar telah ditentukan dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Dosen dan Guru. Di dalam patokan sangat jelas beberapa syarat seseorang dapat diangkat menjadi pembimbing besar. Undang-undang tersebut juga mensyaratkan bahwa kedudukan guru besar memerlukan keahlian, kemahiran, alias kecakapan nan memenuhi standar mutu alias norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Gunadi mengatakan pembimbing besar menduduki tingkatan paling tinggi dalam jenjang karir pengajar di negara. Dan akademikus di luar negeri tentu menyoroti masalah ini. “Kejadian dan praktik nan ada, berpotensi menurunkan kepercayaan organisasi akademik internasional dan dapat berpengaruh terhadap kerjasama akademik,” ujarnya.
Karena itu, ALMI membikin pernyataan sikap nan memuat beberapa poin tuntutan. Di antaranya mendesak Presiden dan Menteri Pendidikan untuk menindak tegas segala corak pelanggaran integritas akademik dalam pengusulan kedudukan fungsional di pendidikan tinggi di Indonesia.
Iklan
Selanjutnya, ALMI meminta pemerintah mencabut kedudukan pembimbing besar dari oknum-oknum nan mendapatkannya dengan langkah curang. Lalu menindak oknum nan menawarkan kemudahan-kemudahan dalam pengusulan pembimbing besar melalui proses transaksi nan melanggar patokan dan hukum.
Tuntutan berikutnya adalah perlu pemberian hukuman tegas terhadap pihak-pihak nan secara sengaja alias lantaran kelalaiannya membikin praktik ini dapat terjadi di dalam universitas. nan terakhir, meminta pemerintah mencegah normalisasi praktik publikasi jurnal predator nan memberikan jalan pintas dengan bayar tanpa memandang pada kualitas publikasi hanya demi mencapai sasaran untuk penilaian nomor angsuran dan memenuhi syarat pengusulan Guru Besar.
Sebelumnya, hasil investigasi Majalah Tempo nan terbit 8 Juli 2024 memaparkan kedudukan pembimbing besar sejumlah pejabat publik dan pesohor bermasalah. Mereka adalah politikus partai, jejak ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha alias KPPU, hingga jaksa agung muda. Dugaan kecurangan terjadi di beberapa universitas lewat publikasi jurnal hingga masalah pada tim penilai.
Hasil penyelidikan nan dilakukan Kementerian Pendidikan juga menemukan persoalan di antaranya publikasi melalui jurnal predator alias penerbit pemangsa nan tidak memeriksa mutu, hingga kekuasaan komplotan asesor nan mengatur proses penilaian. Tempo menemukan adanya hasil kajian Kementerian nan mencoret beberapa nama penilai nan diduga kerap meloloskan kandidat bermasalah.
Pilihan Editor:Kejanggalan Proses Jabatan Guru Besar, KIKA Jelaskan Ketentuan Publikasi Jurnal Ilmiah Internasional